Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’alamenyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia,
الْمَـالُ وَالْبَنُونَ زِيْنَةُ الْـحَيَاةِ الـدُّ نْيَـا.

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46)

Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering kita temui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya.Misalnya saja, seorang wanita yang berdomisili di Bandung dan pernah mengecap pendidikan di salah satu Universitas ternama di kota tersebut, dengan begitu tega membunuh ketiga buah hati yang telah susah payah dikandungnya, hanya karena kekhawatirannya yang tidak beralasan. Hal serupa juga menimpa seorang bayi mungil di daerah Sulawesi yang dibanting ayah kandungnya sendiri hingga tewas, hanya karena ayahnya kesal mendengar tangisan anaknya yang tidak kunjung berhenti. Dan peristiwa yang baru-baru ini terjadi adalah seorang anak lelaki di daerah Jakarta yang dihajar oleh ayah kandungnya sendiri hanya karena anaknya tersebut lupa mematikan air yang sedang dimasak.Kisah-kisah ini merupakan tragedi dalam sejarah pendidikan dan perkembangan anak. Tidak sedikit orang tua yang masih memiliki anggapan bahwa kekerasan dapat menjadi cara yang ampuh agar membuat anak menjadi faham akan sesuatu hal. Jadi, berapa banyak lagi kisah-kisah serupa yang harus dialami anak-anak dengan dalil pendidikan…??? Bukankah tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan limpahan kasih sayang…???

Setiap rumah tangga haruslah memiliki keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Dan untuk menjalankan amanah tersebut maka setiap anggota keluarga mesti memiliki peranan dan tanggung jawab yang dijalankan sebaik-baiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ .

Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang ‘Amir (penguasa) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), dan Ahmad (II/5, 54-55, 111), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma]

Suami dan istri haruslah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memelihara keluarganya, dalam hal ini adalah anak-anaknya yang akan menjadi generasi penerus mereka kelak. Sebab anak merupakan usaha orang tuanya, yang dapat menjadi “simpanan” di akhirat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَ إِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ .

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Dan sesungguhnya anak itu termasuk dari usahanya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/108), An-Nasa’i (II/211), At-Tirmidzi (II/287), Ad-Darimi (II/247), Ibnu Majah (II/2-430), Ath-Thayalisiy (no. 1580), dan Ahmad (VI/41, 126, 162, 173, 193, 201, 202, dan 220), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]

KETIKA PENDIDIKAN ANAK DIMULAI
Usia anak-anak terbagi ke dalam dua tahapan hingga mencapai masa baligh-nya. Tahapan yang pertama adalah sebelum tamyiz dan tahapan kedua adalah sesudah tamyiz. Adapun tamyiz adalah masa dimana anak-anak telah dapat membedakan sesuatu dengan baik, mana yang baik untuk dirinya dan mana yang buruk atau berbahaya bagi dirinya. Dan pencapaian usia tamyiz akan sangat dipengaruhi dengan pelajaran, peringatan dan arahan dari orang tua yang dapat difahami oleh si anak dengan baik dan sesuai dengan pertumbuhan akal si anak.

Metode pendidikan terbaik bagi anak dalam usia sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz adalah dengan jalan mendengar dan menyimak. Karena pada usia tersebut, seorang anak memiliki ingatan yang amat kuat terhadap segala hal yang dilihat dan didengarnya. Itulah sebabnya, anak-anak pada zaman dahulu diketahui memiliki hafalan yang luar biasa, sebut saja seperti Imam Asy-Syafi’i, Imam Bukhari, dan yang lainnya. [Lihat Menanti Buah Hati, hal. 346]

BEGINILAH CARA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDIDIK ANAK
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan uswah bagi orang-orang beriman. Untuk itulah, kita diperintahkan untuk mencontoh beliau dalam berbagai perkara syari’at, salah satunya adalah tarbiyatul aulad (mendidik anak).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua, berkaitan dengan pendidikan anak, antara lain:
1. Memberikan pendidikan agama kepada anak, terutama ‘aqidah yang akan menjadi pondasi ke-Islamannya. Perhatikan bagaimana perkataan Luqman kepada anaknya,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَنُ لِآبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ, يَبُنَىَّ لاَ تُـشْرِكْ بِاللهِۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ۝

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman: 13)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan hal ini kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau bersabda,
يَاغُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَ اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ باللهِ . وَاعْلَمْ، أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ إِلاَّ قَدْ كَتَبَ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ .
وَاعْلًمْ، أّنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيْرًا، وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا .

Artinya: “Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah (hak-hak) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (hak-hak) Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya ummat ini bersatu untuk memberimu manfaat maka manfaat tersebut tidak akan sampai kepadamu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atasmu. Dan apabila ummat ini bersatu untuk mencelakakanmu maka sedikit pun mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena (takdir) telah terangkat dan lembaran (takdir) telah mengering.
Dan ketahuilah, sesungguhnya bersabar atas apa-apa yang tidak engkau sukai itu memiliki kebaikan yang amat banyak. Dan sesungguhnya pertolongan itu (ada) bersama kesabaran. Dan sesungguhnya kelapangan itu (datang) bersama kesulitan, dan sesungguhnya kesulitan itu bersama kemudahan.”

[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (I/292, 303, 307) dan ini lafazhnya, Al-Hakim (III/541), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (XII/12988, 12989), Abu Ya’la (no. 2549), Ibnus Sunni (hal. 427), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 316), dan Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah (hal. 198)]

Perhatikanlah, bagaimana besarnya perhatian para Salaf untuk mengajarkan ‘aqidah kepada buah hatinya, karena begitu pentingnya kedudukan ‘aqidah bagi seorang hamba. Dan pengajaran tentang ‘aqidah ini mestilah diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak.

Tidak hanya ‘aqidah, tapi anak juga harus dibiasakan untuk menjalani rutinitas ibadah sedari dini, seperti shalat dan puasa. Karena pemenuhan hak Allah, tidak hanya terbatas pada ‘aqidah saja, tetapi juga mencakup ‘ubudiyyah (peribadatan). Dan untuk menjalankan rutinitas ini, orang tua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, hendaknya orang tua memperhatikan kualitas peribadatannya. Dengan demikian, maka pendidikan agama bagi anak diperlukan sedari dini, agar kelak ketika anak dewasa, dia tidak akan menjadi seorang yang bodoh terhadap agamanya sendiri.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Kewajiban bapak dan ibu mendidik anak-anak mereka serta mengajari mereka tatacara bersuci dan shalat.”
Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkan,
“Orang tua juga wajib mendidik anak mereka hadir shalat secara berjama’ah dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya zina, homoseks, minum khamr, berdusta, bergunjing, dan semisalnya. (Dan ini diberikan) kepada anak laki-laki maupun perempuan.” [Lihat Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab (III/12) dan Bekal Menanti Si Buah Hati (hal. 56)]

2. Membiasakan anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan kesalahan. Karena akhlak mulia menjadi pemberat timbagan pada hari Kiamat nanti, sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ .

Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari Kiamat nanti daripada akhlak mulia.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (IV/2002) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 5632), dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana sabda beliau,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأَ تَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ .

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang shalih.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 273), Ahmad (III/381), dan Al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam syarahnya untuk Al-Musnad (XVII/79, no. 8939), dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Adabul Mufrad (no. 207) dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (no. 45)]

Sebagian orang tua menganggap bahwa membiasakan anak untuk berakhlak baik pada usia dini belumlah perlu, karena anak-anak akan mendapatkannya pada pendidikan formal kelak. Padahal, orang tua memiliki andil yang sangat besar untuk mengarahkan anak, karena rumah merupakan sekolah pertama bagi anak-anak. Dan sebelum anak beranjak menuju pendidikan formal, dia akan terlebih dulu mendapatkan pendidikan di rumah dan ditengah-tengah keluarganya. Seorang anak tidak hanya akan mewarisi bentuk fisik orang tuanya, tetapi juga akan mewarisi tabiat kedua orang tuanya. Dan rumah merupakan tempat dimana anak akan mengadaptasi ajaran dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya untuk kemudian diaplikasikan, tidak hanya didalam rumah tetapi juga diluar rumah. [Lihat Akhlak-Akhlak Buruk, hal. 82]

Dan ketika salah satu dari orang tua, baik itu ayah maupun ibu, sedang menasihati anaknya, hendaknya orang tua yang lain ikut mendukungnya dan jangan menyelanya atau bahkan menjatuhkan wibawanya. Sebagai contoh, seorang ayah tengah menasihati anaknya agar melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Kemudian, sang ibu menyela perkataan sang ayah, “Kayak ayahnya gak pernah telat shalat aja..” atau “Emang ayahnya suka shalat tepat waktu gitu?” dan perkataan-perkataan senada lainnya yang menyebabkan suatu nasihat itu akan menjadi “mentah” bagi sang anak. Karena dengan begitu, anak akan menganggap bahwa orang tuanya tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya, sebab kesalahan yang dilakukan olehnya ternyata dilakukan pula oleh orang tuanya. Dan ini adalah sebuah kesalahan dalam mendidik anak…!

3. Mengajarkan adab dan etika kepada anak. Para Salaf telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini,
“Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.” [Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 2) dan Ensiklopedi Adab Islam(I/10)]

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pun pernah berkata tentang kebiasaan para Salaf mengirimkan anak-anaknya untuk mempelajari adab dan ibadah selama 20 tahun sebelum mereka dapat menuntut ilmu. [Lihat Hilyatul ‘Auliya’ (VI/361), Min Hadyis Salaf fi Thalabil ‘Ilm (hal. 23), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 130)]

Hal serupa juga digambarkan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullahberikut ini,
“Bahwasanya majelis Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribu orang. Lima ratus (orang) diantara mereka mencatat, sedangkan selebihnya mengambil manfaat dari perilaku, akhlak dan adab beliau (Imam Ahmad).” [Lihat Siyar A’lamin Nubala’ (XI/316) dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)]

Dan inilah kesaksian seorang Abu Bakar Al-Mithwa’i rahimahullah,
“Aku bolak-balik kepada Abu ‘Abdillah –yakni Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah– selama sepuluh tahun. Beliau membacakan kitab Al-Musnad kepada anak-anaknya. Aku tidak menulis satupun hadits darinya, aku hanya melihat adab dan akhlak beliau (pada anak-anaknya).” [Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 3) dan Ensiklopedi Adab Islam(I/10)]

Ada banyak macam adab yang mesti diajarkan kepada anak, namun secara garis besar, pembahasan tentang masalah adab, etika, dan akhlak terbagi kepada:
a. Adab dan akhlak terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, seperti penghambaan, tidak melakukan syirik, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersyukur atas semua nikmat-Nya.
b. Adab dan akhlak terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mengimani beliau sebagai Nabi dan Rasul terakhir bagi seluruh manusia, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi apa yang beliau larang, mengikuti Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala bentuk bid’ah.
c. Adab dan akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, seperti adab makan dan minum, adab tidur, adab berpakaian, adab bertamu, adab meminta izin, adab berdo’a dan adab-adab lainnya.
d. Adab dan akhlak terhadap hewan dan tumbuhan yang sesuai dengan tuntunan syari’at, seperti tidak menyakitinya, tidak menyiksanya, memberinya makan dan minum, merawatnya, dan tidak membunuhnya dengan cara-cara yang dilarang oleh agama. [Lihat Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 131-161) dan Menanti Buah Hati (hal. 396)]

Hendaknya semua adab-adab tersebut dijadikan sebagai suatu kebiasaan di dalam rumah, sehingga ketika si anak pergi keluar rumah, dia akan membawa adab tersebut bersamanya.

4. Orang tua hendaknya menyertakan anak-anak dalam beribadah, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya diberdayakan. Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua. Tidak hanya itu, orang tua juga dapat mengajak anak untuk memberdayakan perasaannya ketika beribadah, yakni menghadirkan rasa cinta dalam menjalankan suatu ibadah, sekaligus mengajarkan kepadanya bagaimana menghadirkan hati yang khusyu’ ketika beribadah.

Sebagai contoh:
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah shalat disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebelah kiri, kemudian beliau memegang telinganya dan memindahkannya ke sebelah kanan beliau.
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 6316) dan Muslim (no. 763)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa urutan shaf terdepan bagi anak-anak adalah dibelakang shaf laki-laki dewasa, kecuali jika keadaan tersebut (dikhawatirkan) akan mengganggu jama’ah. Karenanya pada saat itu, perlu bagi kita untuk menempatkan anak-anak laki-laki diantara shaf laki-laki dewasa agar jama’ah dapat mengerjakan shalat secara khusyu’.” [Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (IV/391)

5. Bersikap lemah lembut kepada anak dan bersikap tegas manakala diperlukan. Karena anak bukanlah benda yang tidak memiliki rasa. Sehingga, orang tua sesekali dianjurkan untuk mencandai anak, bermain dengannya, dan mencium mereka sebagai bentuk kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aqra’ yang memiliki 10 orang anak, tetapi dia belum pernah mencium mereka sekalipun,
مَنْ لاً يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ .

Artinya: “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5997) dan Muslim (no. 2318), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Sikap tegas orang tua kepada anak juga perlu dilakukan sesekali, manakala anak melanggar ketentuan syar’i. Namun, sikap tegas yang dimaksudkan bukanlah sikap kasar dan menganiaya anak, karena sikap tegas disini ditujukan sebagai metode pendidikan anak yang memberikan efek jera, bukan “efek luka”.

Contoh sikap tegas yang dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah memukul anaknya yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah menginjak usia 10 tahun, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصًّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِ بُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ .

Artinya: “Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)]

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya.
c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan.
d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman.
e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.
[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati (hal. 55-56, cat. kaki no. 89)]

Adapun pukulan yang dimaksud adalah:
a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan,
b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak,
c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.
[Lihat Menanti Buah Hati, hal. 347-348)

6. Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam(I/201)]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ أَشْهَـدُ عَلَى جَوْرٍ، اتّقُوا اللهَ، وَاعْـدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ .

Artinya: “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]

Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَاعْلَمُوآ أَنَّمَآ أَمْوَ لُكُمْ وَأَوْلَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ ۝

Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28)

إِنَّمَآ أَمْوَ لُكُمْ وَأَوْلَدُكُمْ فِتَنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ ۝

Artinya: “Hanya saja harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun: 15)

Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَـذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيءٍ، فَأَحْسَنَ إِلَيْهَنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ .

Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari Neraka.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan Muslim (no. 2629), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]

Dan wajib bagi para orang tua untuk membiasakan anak-anak perempuannya untuk mengenakan jilbab. Jangan biasakan dia mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek, meskipun dia belum baligh. Karena kebiasaan berpakaiannya sedari kecil akan mempengaruhi “model pakaiannya” ketika dewasa.

7. Memperhatikan kesehatan anak, baik secara jasmani maupun rohani, karena sesungguhnya Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ …

Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah…”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664), Ahmad (II/366, 370) dan Ibnu Majah (no. 79, 4168), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Itulah beberapa hal yang harus menjadi perhatian orang tua terkait dengan pendidikan anak. Tidak hanya menjadi bahan perhatian orang tua saja, tetapi juga menjadi kewajiban bagi orang tua, karena apa yang telah diuraikan diatas dapat dikategorikan sebagai hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya.

AYAH… BUNDA… SAYANGILAH ANAKMU…
Anak manapun, tentu saja mendambakan kasih sayang kedua orang tuanya. Karena meskipun dia telah mendapatkan kasih sayang dari kerabat dan teman-temannya, jauh di dalam lubuk hatinya dia rindu untuk mendekap sang ayah dan dibelai oleh sang bunda. Andaikan para orang tua mau sedikit lebih peka terhadap sikap dan perasaan sang anak, tentunya mereka dapat mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis.

Namun, sangat disayangkan bahwa para orang tua masa kini lebih sibuk dengan dunianya masing-masing tanpa mau menengok ke dalam dunia anak-anaknya barang sebentar saja. Karena banyak dari mereka menggunakan alasan perekonomian sebagai alibi untuk menghindar dari tindakan “salah asuh” yang kerap terjadi belakangan ini. Sehingga, para orang tua menjerumuskan anak-anak mereka ke dalam lembah kenistaan tanpa sadar, dengan sebab sikap acuh tak acuh dengan pendidikan anak.

Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
وَلاَتَقْـتُلُوآ أَوْلَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَقٍۖ نَّحْنُ نَرْزُقُـهُـمْ وَإِيَّاكُمْۖ …

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu…” (Qs. Al-Isra’: 31)

Meskipun ayat diatas menyebutkan tentang larangan membunuh anak karena takut miskin, akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menegaskan dalam ayat yang sama bahwa Allah-lah yang memberikan rizki kepada orang tua dan anak tersebut maka tidak ada alasan bagi setiap orang tua untuk mengabaikan hak anak dan hanya memberikan wewenang pada instansi formal untuk memberikan pendidikan kepada anak, tanpa orang tua turut terlibat di dalamnya, hanya karena alasan perekonomian.

Jadi, sesibuk apa pun aktifitas kedua orang tua, hendaknya orang tua dapat meluangkan waktu bersama anak untuk mengetahui sejauh mana pendidikan yang telah diterimanya dan mengamati hal-hal apa saja yang harus diperbaiki, ditambah, atau mungkin dikurangi dari “porsi” pendidikan si anak. Dengan demikian, hubungan antara orang tua dan anak tidak lagi berada dalam dua dunia yang berbeda dan terpisahkan oleh jurang yang sangat jauh dan dalam. Dan dalam hal ini diperlukan pendekatan yang komunikatif antara keduanya.

Sepatutnya anak mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tua dan kerabatnya. Dan yang terpenting dari semuanya adalah pendidikan yang menjadi hak anak dan prioritas bagi setiap orang tua, karena Allah Ta’ala telah berfirman,
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ … ۝

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Qs. At-Tahrim: 6)

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu menegaskan bahwa maksud dari ayat diatas adalah mendidik dan mengajari keluarga. [Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim(IV/408) dan Bekal Menanti Si Buah Hati (hal. 52)]

***

Demikianlah, risalah ini tersusun dengan maksud untuk mengingatkan kepada setiap orang tua, bahwasanya anak adalah titipan yang harus dijaga. Dan “titipan” itu juga harus dikelola sebaik mungkin agar kelak menjadi “aset” yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Maka tidakkah setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih agar kelak dapat mendo’akannya ketika tidak ada lagi satupun “simpanan” yang dimilikinya.
إِذَ مَاتَ الْإِنْسَانُ إِنْقَـطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَلِحٍ يَدْعُوْلَهُ .

Artinya: “Apabila manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.” 
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

الحمد لله الذى بنعمته تتم الصالحات
والله تعالى أعلم

Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja’ah: Ibnu Isma’il Al-Muhajirin

Maraji’:
1. Akhlak-Akhlak Buruk, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
2. Al-Masaail Jilid 6, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta
3. Bekal Menanti Si Buah Hati, Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, cetakan Media Tarbiyah, Bogor
4. Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Ummu Salamah As-Salafiyyah, cetakan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
5. Ensiklopedi Adab Islam Jilid 1, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta
6. Jangan Salah Mendidik Buah Hati, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Darus Sunnah, Jakarta
7. Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk yang Dinanti, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
8. Menggapai Surga Tertinggi dengan Akhlak Mulia, Ummu Anas Sumayyah bintu Muhammad Al-Ansyariyyah, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
9. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor
10. Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor
11. Tarbiyatul Abna (Edisi Terjemah), Syaikh Musthafa Al-Adawi, cetakan Media Hidayah, Yogyakarta